Universitas dr. Soebandi

Senjata Baru PPATK dan Jeritan Sunyi di Balik Perang Melawan Uang Haram

PPATK

PPATK

Di balik gebrakan PPATK memblokir rekening tidur demi perangi kejahatan, ada warga biasa yang berisiko jadi korban sunyi. Inilah sisi lain dari kebijakan yang menyentuh jutaan orang.

Di sebuah sudut kota, Ibu Tuminah, 70 tahun, menyimpan buku tabungan lamanya di bawah tumpukan pakaian. Uang itu, sisa pesangon suaminya, sengaja tak disentuh, disiapkan untuk “jaga-jaga” di hari tua. Ia tak tahu, kebiasaannya “mendiamkan” uang di bank kini bisa membuatnya dicap sebagai potensi penjahat keuangan. Selamat datang di era baru pengawasan finansial Indonesia.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) baru saja mengumumkan kebijakan radikal yang terdengar gagah di atas kertas: memblokir sementara rekening bank yang “nganggur” atau tidak aktif bertransaksi selama beberapa bulan. Tujuannya mulia, yakni memotong rantai pasok pendanaan judi online dan praktik pencucian uang yang kian menggila. Data PPATK memang mencengangkan, lebih dari 28.000 rekening dormant teridentifikasi disalahgunakan untuk deposit judi online sepanjang 2024. Sebuah langkah yang patut diapresiasi.

Namun, di balik narasi heroik pemberantasan kejahatan itu, ada sebuah spektrum cerita yang luput dari sorotan utama. Kebijakan ini, tanpa disadari, bisa menjadi pedang bermata dua yang menebas mereka yang paling tidak berdaya.

Bayangkan seorang pekerja migran di Malaysia. Ia sengaja membuka rekening di kampung halaman untuk menampung jerih payahnya, yang hanya akan dicairkan keluarganya setahun sekali saat ia pulang. Atau pikirkan mahasiswa perantau yang menerima dana beasiswa di awal semester dan menyimpannya baik-baik, hanya melakukan transaksi saat kebutuhan mendesak. Rekening mereka, yang “tertidur” karena perencanaan, kini berada di bawah ancaman blokir.

Gebrakan PPATK ini seolah menyamaratakan semua rekening “diam” sebagai potensi sarang kriminal. Padahal, pola menabung masyarakat Indonesia begitu beragam. Masih banyak generasi tua yang memandang bank sekadar sebagai tempat paling aman menyimpan uang, bukan untuk lalu lintas transaksi harian. Bagi mereka, tidak adanya aktivitas justru berarti tujuan menabung mereka berhasil.

Persoalan lain yang muncul adalah soal literasi dan akses digital. PPATK memang menyediakan prosedur reaktivasi, lengkap dengan formulir daring dan kontak via WhatsApp. Namun, mari kita jujur, seberapa ramah prosedur ini bagi Ibu Tuminah di sudut kota tadi? Atau bagi petani di pelosok desa yang bahkan tak familiar dengan istilah dormant?

Langkah pengamanan sistem keuangan adalah keniscayaan. Namun, pertempuran melawan penjahat berdasi dan bandar judi tak seharusnya menciptakan korban-korban sunyi dari kalangan masyarakat biasa. Kebijakan yang seragam ini berisiko menghukum kehati-hatian finansial dan menghakimi mereka yang berada di seberang jurang digital.

PPATK telah menembakkan peluru tajam ke arah para pelaku kejahatan keuangan. Kini, tantangannya adalah memastikan peluru itu tidak bersarang di dada warga biasa yang selama ini hanya ingin menabung dengan tenang. Perang melawan uang haram itu penting, tetapi melindungi hak dan kenyamanan warga yang tak bersalah adalah fondasi utama dari sebuah negara. Jika tidak, siapa yang sebenarnya kita lindungi?

Exit mobile version