Universitas dr. Soebandi

Aksi Ojol Hari Ini Adalah Suara Mesin Ekonomi Kota yang Terluka

ojol

ojol

Aksi ribuan ojol bukan sekadar protes tarif. Ini adalah suara dari mesin ekonomi informal yang terabaikan, menuntut keadilan saat peran mereka bagi kota semakin tak tergantikan.

Ribuan pengemudi ojek online, atau ojol, yang dijadwalkan memadati kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, siang ini bukanlah sekadar kumpulan massa yang memprotes aturan. Kehadiran mereka di bawah terik matahari adalah representasi dari denyut nadi ekonomi informal ibu kota yang sedang terluka; sebuah mesin penggerak logistik dan mobilitas warga yang merasa hak-hak serta kesejahteraannya semakin terpinggirkan.

Aksi yang diorganisir ini memang menyuarakan tuntutan yang konkret, yakni memprotes sejumlah aturan yang dianggap tidak berpihak pada pengemudi. Namun, jika ditarik lebih dalam, protes ini adalah puncak dari akumulasi keresahan yang telah lama membara. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa di jalanan metropolitan. Saat jam sibuk, mereka mengurai potensi kemacetan. Saat lapar melanda di tengah malam, mereka menjadi garda terdepan pengantar pangan. Saat paket harus tiba di hari yang sama, mereka adalah solusinya. Peran mereka krusial, namun posisi mereka rentan.

Paradoks terbesar dari profesi ojol adalah status mereka sebagai “mitra”. Kata “mitra” terdengar setara, namun dalam praktiknya menciptakan jurang ketidakpastian. Tanpa status sebagai pekerja, mereka tidak memiliki jaring pengaman mendasar seperti upah minimum, jaminan sosial, atau perlindungan kerja yang layak. Pendapatan mereka sepenuhnya bergantung pada algoritma aplikasi dan kebijakan sepihak perusahaan platform, yang bisa berubah kapan saja tanpa ruang negosiasi yang adil.

Di balik setiap jaket hijau yang kita lihat di jalan, ada perjuangan untuk memenuhi biaya operasional—bensin yang harganya fluktuatif, cicilan kendaraan, dan biaya perawatan—yang harus ditanggung sendiri. Ketika tarif dianggap tidak lagi manusiawi dan aturan semakin menekan, aksi turun ke jalan menjadi satu-satunya bahasa yang mereka rasa akan didengar.

Oleh karena itu, melihat aksi para pengemudi ojol hari ini hanya sebagai penyebab kemacetan adalah sebuah pandangan yang dangkal. Ini adalah potret nyata dari perjuangan kelas pekerja di era ekonomi digital. Mereka menuntut pengakuan, keadilan, dan regulasi yang benar-benar melindungi, bukan sekadar basa-basi. Ini adalah suara dari mesin penggerak kota yang meminta untuk tidak lagi diabaikan

Exit mobile version