Universitas dr. Soebandi

Saat Gempa Menguji Kesiapan Jakarta, Bukan Sekadar Getaran Sesaat

gempa

gempa

Getaran gempa dari Jawa Barat kembali menyapa Jakarta, bukan sekadar berita nihil korban, tapi pengingat keras bahwa kesiapan ibu kota menghadapi ancaman nyata jauh lebih penting.

Lantai gedung pencakar langit itu kembali bergoyang. Lampu gantung berayun pelan, menciptakan irama senyap yang mencekam di tengah kesibukan malam ibu kota. Getaran singkat pada Rabu malam itu bukan berpusat di sini, melainkan ratusan kilometer jauhnya di perairan Garut, Jawa Barat. Namun, pesan yang dikirim oleh gempa berkekuatan magnitudo 5,6 itu sampai dengan jelas ke jantung Indonesia.

Di pusat pemerintahan, Sekretaris Kabinet Pramono Anung dengan cepat memastikan bahwa Istana Kepresidenan aman. Tak ada laporan kerusakan, tak ada korban. “Saya tadi tanya ke mana-mana, alhamdulillah aman,” ujarnya kepada awak media. Sebuah pernyataan yang melegakan, tentu saja. Aktivitas kenegaraan, termasuk persiapan upacara kemerdekaan, dipastikan tak terganggu.

Namun, mari kita berhenti sejenak dari narasi “Jakarta aman”. Sebab, setiap kali gempa dari tanah Pasundan menyapa, ini bukanlah sekadar berita tentang retakan dinding atau laporan nihil korban. Ini adalah alarm. Sebuah pengingat periodik yang jauh lebih penting dari sekadar goyangan sesaat. Ini adalah pertanyaan lugas dari alam: “Hai Jakarta, sudah siapkah kamu jika suatu saat aku datang dengan kekuatan penuh?”

Secara ilmiah, fenomena ini mudah dijelaskan. Jakarta berdiri di atas lapisan tanah sedimen yang tebal dan lunak. Para ahli geologi mengibaratkannya seperti puding di atas nampan. Ketika nampan (lempeng bumi) digoyangkan, puding (tanah Jakarta) akan bergetar lebih hebat dan lebih lama. Efek amplifikasi inilah yang membuat getaran terasa kuat meski sumbernya jauh.

Maka, fokus pemberitaan seharusnya tidak lagi hanya pada “ada atau tidaknya kerusakan”. Getaran semalam adalah sebuah simulasi gratis, sebuah latihan darurat yang diberikan langsung oleh alam. Ini adalah kesempatan untuk menguji kesiapan kita yang sesungguhnya. Apakah rambu-rambu jalur evakuasi di gedung-gedung tinggi itu hanya hiasan? Sudahkah tas siaga bencana menjadi barang wajib di setiap rumah tangga urban?

Pertanyaan yang lebih dalam adalah, apakah kita sudah beralih dari sekadar reaktif menjadi proaktif? Dari sekadar menghitung kerugian setelah kejadian, menjadi berinvestasi pada kesiapan sebelum bencana datang. Pernyataan “tidak ada kerusakan” hari ini seharusnya tidak menjadi lagu pengantar tidur yang melenakan, melainkan bahan bakar untuk mempercepat mitigasi.

Gempa adalah tamu tak diundang yang pasti akan datang lagi. Goyangan semalam adalah lonceng pengingatnya. Jakarta boleh saja aman kali ini, namun pertanyaannya tetap sama: bagaimana dengan lain kali? Kesiapan adalah satu-satunya jawaban yang bisa menyelamatkan kita saat alam memutuskan untuk berhenti menyapa dengan lembut.

Exit mobile version