Universitas dr. Soebandi

Geser Pos Anggaran? Ini Gaji Anggota DPR RI

gaji anggota DPR RI

gaji anggota DPR RI

Prahara gaji anggota DPR RI kembali jadi sorotan. Klarifikasi Puan Maharani soal kompensasi rumah membuka kotak pandora tentang definisi ‘kesejahteraan’ wakil rakyat dan persepsi publik.

Istana Senayan kembali bergetar, namun bukan karena ketukan palu sidang. Getaran kali ini datang dari riuh rendah suara publik yang menyoroti isu sensitif dan abadi: gaji anggota DPR RI. Di tengah panggung perbincangan yang memanas, Ketua DPR RI Puan Maharani tampil mendinginkan suasana, menegaskan bahwa tidak ada proposal kenaikan gaji pokok.

Namun, klarifikasi yang disampaikan pada Senin (18/8/2025) itu justru membuka babak baru yang tak kalah menarik: wacana konversi fasilitas rumah dinas menjadi kompensasi tunjangan uang.

“Bukan, bukan gaji (yang naik). Ini soal kompensasi untuk rumah jabatan,” ujar Puan di Kompleks Parlemen. Sebuah kalimat penegasan yang terdengar sederhana, namun sarat akan makna politis dan teknis anggaran.

Mari kita bedah lebih dalam. Selama ini, negara menyediakan rumah dinas bagi para legislator di kawasan seperti Ulujami dan Kalibata. Namun, menurut Puan, banyak dari aset negara tersebut yang sudah tak layak atau tak lagi efisien. Logikanya, daripada membiayai renovasi dan perawatan yang terus membengkak, mengapa tidak mengubahnya menjadi bentuk tunjangan tunai yang bisa dikelola langsung oleh anggota dewan?

Di sinilah letak pergeseran perspektifnya. Isu ini bukan lagi sekadar tentang “naik” atau “tidak naik”. Ini adalah tentang redefinisi konsep kesejahteraan wakil rakyat. Apakah fasilitas in-kind (berupa barang/aset) lebih baik daripada cash allowance?

Bagi DPR, skema kompensasi ini bisa jadi dianggap sebagai langkah efisiensi. Anggaran perawatan yang rumit dan terpencar bisa disederhanakan menjadi satu pos tunjangan yang jelas. Anggota dewan pun mendapatkan fleksibilitas untuk memilih tempat tinggal yang sesuai dengan kebutuhan mereka, tanpa harus terikat pada lokasi dan kondisi rumah dinas.

Namun, di mata publik, cerita ini bisa dibaca dengan narasi yang sama sekali berbeda. Ketika kata “uang” dan “DPR” disandingkan, alarm skeptisisme publik otomatis berbunyi. Persepsinya sederhana: ada aliran dana segar tambahan yang masuk ke kantong para legislator, terlepas dari apa pun nama teknisnya. Isu gaji anggota DPR RI yang selama ini terdiri dari berbagai komponen rumit—mulai dari gaji pokok, tunjangan melekat, hingga tunjangan kehormatan—akan kembali menjadi sorotan utama.

Pertanyaan kritis yang kini mengemuka adalah: seberapa transparan mekanisme penentuan nilai kompensasi ini nantinya? Apakah nominalnya akan setara dengan biaya sewa rumah yang wajar, atau justru menjadi celah baru untuk “pendapatan tambahan”?

Klarifikasi Puan Maharani, alih-alih menutup perdebatan, justru mengundangnya ke level yang lebih substansial. Ini bukan lagi soal nominal gaji di atas kertas, melainkan tentang bagaimana negara mengelola asetnya dan bagaimana para wakil rakyat dipersepsikan dalam mengelola amanahnya. Bola kini berada di tangan DPR untuk membuktikan bahwa “geser pos anggaran” ini adalah murni untuk efisiensi, bukan sekadar trik semantik untuk menaikkan pendapatan di tengah tatapan tajam seluruh rakyat Indonesia.

Exit mobile version