Kisah tragis Rafa, bocah Pekalongan yang berjuang sebulan melawan bisa ular weling. Sebuah pengingat tentang bahaya senyap reptil mematikan yang hidup berdampingan dengan manusia di sekitar kita.
Ada pertarungan yang tak membuat bising, sebuah perang sunyi yang berlangsung selama sebulan penuh di ruang rawat intensif. Korbannya adalah Rafa (12), seorang bocah asal Pekalongan. Lawannya bukan manusia, melainkan efek destruktif dari bisa yang menyelinap masuk ke tubuhnya melalui satu gigitan kecil. Lawan itu bernama ular weling.
Kisah ini bukan tentang akhir yang tiba-tiba. Ini adalah cerita tentang perjuangan panjang melawan racun yang bekerja dalam senyap. Pada Minggu (20/7) dini hari, perjuangan itu berakhir. Rafa menghembuskan napas terakhirnya di RSUP Dr. Kariadi, Semarang, meninggalkan duka mendalam dan sebuah pelajaran penting bagi kita semua.
Semua bermula pada Senin, 16 Juni 2025. Sebuah gigitan dari reptil bercorak hitam-putih itu menjadi awal dari mimpi buruk. Ular weling, yang seringkali dianggap tidak seagresif kobra, membuktikan bahwa ancaman paling mematikan seringkali datang tanpa peringatan keras. Bisanya yang bersifat neurotoksin (racun saraf) tidak menghancurkan jaringan di lokasi gigitan, melainkan langsung menyerang sistem saraf pusat. Ia melumpuhkan perlahan, mematikan fungsi pernapasan, dan menyeret korbannya ke dalam kondisi koma.
Itulah yang terjadi pada Rafa. Setelah gigitan itu, ia segera dilarikan ke RSUD Kajen, lalu dirujuk ke RSI PKU Muhammadiyah Pekajangan, hingga akhirnya berakhir di benteng pertahanan medis terakhir, PICU RSUP Dr. Kariadi pada 9 Juli. Selama sebulan, tubuh kecilnya berjuang melawan lawan tak kasat mata. Keluarga dan tim medis berharap cemas, menyaksikan sebuah pertempuran di mana medan perangnya adalah sistem saraf Rafa sendiri.
Tragedi ini menyorot sebuah paradoks. Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, bahaya purba masih mengintai, bahkan di dalam rumah kita sendiri. Ular weling (Bungarus candidus) adalah makhluk nokturnal yang seringkali mencari tempat hangat dan gelap, membuatnya rentan bertemu dengan manusia saat kita terlelap. Gigitannya yang nyaris tak terasa sakit menjadi tipu daya yang mematikan, menunda penanganan krusial.
Kepergian Rafa bukanlah sekadar angka dalam statistik gigitan ular. Kisahnya adalah pengingat keras bahwa di sekitar kita, ada kehidupan lain yang beroperasi dengan aturannya sendiri. Ini adalah sebuah bisikan maut dari alam, bahwa kewaspadaan adalah harga mutlak untuk hidup berdampingan dengan bahaya yang senyap namun selalu ada. Pekalongan berduka, dan dari duka itu, kita dipaksa untuk kembali belajar menghargai sinyal-sinyal alam yang sering kita abaikan