Di tengah gempuran disrupsi digital, UIN Jakarta tak mau jadi penonton. Kampus ini mendeklarasikan diri sebagai laboratorium gagasan, siap merancang masa depan pendidikan Islam yang relevan dan kompetitif.

Di era ketika kecerdasan buatan (AI) mampu menulis esai dan algoritma media sosial membentuk cara berpikir, pertanyaan fundamental muncul: masih relevankah pendidikan Islam konvensional? Alih-alih menghindar, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta memilih untuk menatap tantangan itu tepat di mata. Mereka tidak lagi puas menjadi sekadar institusi pencetak sarjana; kini, UIN Jakarta mendeklarasikan komitmennya untuk menjadi “laboratorium gagasan” terdepan.

Ini bukan sekadar wacana manis di ruang seminar. Komitmen tersebut diteriakkan langsung oleh Rektor UIN Jakarta, Asep Saepudin Jahar, dalam acara “Kick-off” Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-22 yang akan dihelat pada 2025 mendatang. Menurutnya, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) harus berhenti menjadi pengikut dan mulai bertransformasi menjadi trendsetter inovasi pendidikan.

“Kita tidak bisa lagi menjalankan pendidikan dengan cara-cara kemarin untuk menghadapi tantangan hari ini dan esok,” ujar Rektor Asep dalam sebuah pernyataan yang lebih terdengar seperti manifesto ketimbang pidato seremonial. “UIN Jakarta harus menjadi pusat keunggulan, tempat lahirnya ide-ide liar yang akan membentuk ulang cara kita memandang pendidikan Islam di era digital.”

Panggung untuk pertarungan ide ini pun sudah disiapkan: AICIS 2025. Dengan tema yang sangat relevan, “Rethinking Islamic Education in the Digital Age: Trends, Challenges, and Innovations”, konferensi ini dirancang bukan sebagai ajang nostalgia, melainkan sebagai wadah untuk membongkar, mengkritisi, dan membangun kembali fondasi pendidikan Islam.

Apa artinya ini bagi mahasiswa dan masyarakat? Sederhananya, UIN Jakarta sedang berusaha memastikan bahwa lulusannya kelak tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga fasih berbahasa teknologi, adaptif terhadap perubahan, dan mampu bersaing di panggung global. Visi ini adalah tentang melahirkan sumber daya manusia unggul yang spiritualitasnya kokoh namun pengetahuannya tak lekang oleh zaman.

Dukungan pun mengalir dari pemerintah. Direktur Jenderal Pendidikan Islam, M. Ali Ramdhani, menegaskan bahwa visi UIN Jakarta sejalan dengan arah yang ingin dituju oleh Kementerian Agama. Ia melihat langkah ini sebagai sebuah keharusan agar PTKIN tetap menjadi mercusuar pengetahuan yang relevan.

Pada akhirnya, apa yang dipertaruhkan UIN Jakarta jauh lebih besar dari sekadar reputasi akademik. Ini adalah pertaruhan untuk masa depan pendidikan Islam itu sendiri. Sebuah upaya untuk membuktikan bahwa nilai-nilai keislaman tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga mampu memimpin di tengah pusaran perubahan teknologi yang tak kenal ampun. Dunia sedang memperhatikan, apakah dari kampus Ciputat ini akan lahir peta baru bagi pendidikan Islam global.