Gara-gara sistem SIPD eror, nasib 76 desa di Takalar berada di ujung tanduk. Dana desa Rp17 miliar tak bisa cair, pembangunan mandek, dan aparat desa terancam tak gajian.
Roda pembangunan di 76 desa se-Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, kini berputar lambat, nyaris berhenti. Bukan karena tak ada anggaran, tapi karena uang sebesar Rp17 miliar untuk dana desa tahap kedua tahun 2025 ini tertahan di rekening kas daerah. Ironisnya, biang keladi dari semua masalah ini adalah sebuah sistem digital yang seharusnya mempermudah segalanya: Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD).
Bayangkan sebuah brankas penuh uang yang kuncinya macet. Begitulah nasib dana desa di Takalar saat ini. Uang ada, siap digunakan untuk membangun jalan, memperbaiki irigasi, atau menjalankan program pemberdayaan masyarakat, namun tak bisa disentuh.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Takalar, Sirajuddin Saraba, mengakui secara terbuka bahwa kendala utamanya murni teknis. “Anggarannya sudah siap di Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD). Masalahnya cuma satu, aplikasi SIPD ini sedang tidak stabil, sering sekali eror,” jelasnya saat dikonfirmasi pada Kamis (21/8/2025).
SIPD, yang dirancang pemerintah pusat untuk mengintegrasikan dan mengefisienkan data keuangan daerah, justru menjadi tembok penghalang. Sistem yang diharapkan menjadi solusi transparansi kini malah melahirkan masalah baru yang berdampak langsung ke denyut nadi kehidupan masyarakat desa.
Jeritan dari Desa
Kondisi ini membuat para aparat desa menjerit. Koordinator Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Takalar, Fahmi, menyuarakan kegelisahan rekan-rekannya. Menurutnya, keterlambatan ini bukan hanya soal proyek pembangunan yang mandek, tetapi juga menyangkut hajat hidup orang banyak.
“Banyak program desa yang sudah direncanakan jadi terhambat. Lebih parahnya lagi, ini menyangkut gaji dan tunjangan aparat desa, kepala dusun, RT/RW, hingga kader posyandu. Bagaimana mereka bisa bekerja maksimal jika hak mereka tertunda?” ungkap Fahmi.
Ini adalah sebuah paradoks digital. Di satu sisi, pemerintah mendorong digitalisasi untuk memangkas birokrasi yang rumit. Namun di sisi lain, ketika sistem digital itu sendiri bermasalah, dampaknya bisa melumpuhkan satu kabupaten. Ketergantungan total pada sistem yang belum sepenuhnya andal ini terbukti menjadi pedang bermata dua.
Kini, nasib 76 desa berada di ujung tanduk, menunggu “kesehatan” aplikasi SIPD pulih. Masyarakat menanti janji-janji pembangunan direalisasikan, sementara aparat desa berharap dapur mereka bisa kembali mengepul. Pertanyaannya, sampai kapan kelumpuhan digital ini akan menyandera nasib ribuan warga Takalar? Pemerintah daerah dituntut bergerak cepat mencari solusi, entah itu memperbaiki sistem atau mencari jalan keluar manual yang sah, sebelum masalah teknis ini berubah menjadi krisis sosial yang lebih besar.