Di tengah tawa reuni UGM, canda Presiden Jokowi soal ijazah palsu menjadi sindiran elegan. Sebuah momen nostalgia yang menutup babak drama politik lama dengan kenangan dan tawa lepas.

Lupakan sejenak iring-iringan kendaraan kepresidenan dan ajudan yang sigap. Pada Sabtu sore di Grha Sabha Pramana, Universitas Gadjah Mada (UGM), yang ada hanyalah ‘Joko’, alumnus Fakultas Kehutanan angkatan 1980. Jas dan dasi berganti suasana guyub, dan pidato kenegaraan bertukar dengan gelak tawa kawan lama. Di panggung reuni inilah, Presiden Joko Widodo memilih untuk menuntaskan salah satu drama politik paling absurd yang pernah menerpanya: isu ijazah palsu.

Bukan dengan bantahan formal atau konferensi pers yang tegang. Jokowi memilih senjata yang paling tajam sekaligus paling elegan: humor. Di hadapan ratusan sahabat seperjuangannya, ia melontarkan kelakar yang menusuk tepat di jantung isu tersebut.

“Hati-hati, lho. Ini (keaslian ijazah) belum diputuskan pengadilan. Nanti kalau diputus palsu, berarti ijazah saudara-saudara palsu semua,” ujarnya, yang langsung disambut ledakan tawa seisi ruangan.

Kalimat itu, meski terucap ringan, punya bobot yang lebih dari sekadar lelucon. Itu adalah sebuah punchline yang telah lama ditunggu. Diucapkan di “kandang”-nya sendiri, di almamater yang dituduh tak pernah mengakuinya sebagai lulusan, candaan itu menjadi cara Jokowi untuk mengatakan: “Mari kita tertawakan bersama kekonyolan ini.” Ini bukan lagi soal pembuktian, melainkan soal perayaan kemenangan atas fitnah dengan cara yang paling berkelas.

Suasana semakin cair ketika Jokowi memanggil beberapa rekannya, mengenang masa-masa kuliah yang penuh perjuangan. Ia bahkan berkelakar tentang seorang temannya yang harus mengulang ujian hingga delapan kali, lalu menyindir bahwa ijazah temannya itulah yang mungkin lebih patut dipertanyakan. Lagi-lagi, tawa membahana.

Momen ini menawarkan sudut pandang yang segar. Isu ijazah yang selama berbulan-bulan digoreng di panggung politik dan media sosial, ternyata ditutup bukan di meja hijau atau debat kusir, melainkan di panggung reuni yang hangat. Jokowi tidak sedang membela diri; ia sedang mengajak publik melihat betapa rapuhnya tudingan itu ketika dihadapkan pada realitas pertemanan dan kenangan otentik yang terjalin puluhan tahun.

Dengan kembali ke akarnya, menyapa kawan-kawan yang menjadi saksi hidup perjalanan akademisnya, Jokowi secara efektif mengubah narasi. Ia tak perlu lagi menunjukkan bukti fisik ijazahnya. Bukti itu hadir dalam bentuk tawa, pelukan, dan sapaan akrab dari mereka yang dulu mengenalnya sebagai mahasiswa gondrong kurus dari Solo.

Pada akhirnya, acara “Guyub Rukun Konco Kuliah” itu menjadi lebih dari sekadar ajang nostalgia. Ia menjadi panggung penutup yang cerdas untuk sebuah drama usang, di mana sang tokoh utama memilih untuk menulis sendiri akhir ceritanya dengan tinta humor dan kehangatan persahabatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *